Senin, 21 April 2014

Resume Wayang Kulit


Oleh Jajang Suryana
Pengayaan bahan pembuatan wayang ini menuntut cara mempertunjukkan yang lain. Yaitu, cara dan pertunjukan wayang berkelir (wayang kulit) yang berwarna. Tampilan berwarna bayangan wayang mika pada kelir akan didukung oleh efek pencahayaan yang juga nekawarna. Pembaruan pertunjukan wayang (kulit), wayang yang ditampilkan dengan menggunakan kelir, menjadi pertunjukan wayang yang penuh warna, merupakan upaya menarik minat para penonton muda yang pewaris budaya wayang, yang sudah terbiasa menonton berbagai acara televisi yang nekawarna.
Perubahan pertunjukan dan pengayaan jenis wayang, tidak mengubah pakem. Pakem wayang di antaranya mengikat jejer carita (jalan cerita utama), raut tampang, watak, dan penokohan. Sabetan dan pertunjukan, seperti pertunjukan melalui radio, rekaman kaset, maupun pada acara teve, sudah lama diterima oleh masyarakat pendukung wayang tanpa protes. Begitu pun lahirnya jenis wayang baru yang telah begitu lama kita ketahui, tidak menjadi permasalahan dalam pembicaraan tentang pakem. Wayang mika, gaya pertunjukan wayang berkelir yang berwarna, pada dasarnya mengacu kepada keadaan tersebut.
Tulisan ini dimaksudkan untuk menggagas upaya pelestarian salah satu hasil budaya milik bangsa Indonesia yang berharga, yang telah diakui sebagai salah satu benda budaya milik dunia. Pelestarian bisa berarti pelanjutan secara utuh atau hanya sekadar pengembangan. Pengayaan bahan pembuatan wayang kulit, pengembangan gaya pertunjukan wayang kulit berwarna, termasuk ke dalam bentuk usaha pelestarian tadi. Yang mengilhami gagasan ini adalah keberadaan wayang kulit purwa Buleleng.
Wayang kulit purwa Buleleng hingga saat ini kurang begitu akrab dengan masyarakat pendukungnya, terutama dengan kaum muda. Dari hasil wawancara awal, banyak kaum muda yang menyatakan kurang menyukai pertunjukan wayang kulit ini. Kendala pertama yang diakui oleh sejumlah kaum muda Buleleng, adalah unsur bahasa yang digunakan dalang dalam mempertunjukkan wayang. Bahasa pengantar pertunjukan wayang adalah bahasa yang tidak dimengerti oleh kaum muda, yaitu bahasa Jawa Kuna. Kendala kedua menyangkut segi pertunjukan wayang yang kurang sesuai dengan dunia kaum muda.
Pewarisan budaya adalah pengalihan tanggung jawab dari generasi tua kepada generasi muda. Seandainya kaum muda sebagai kelompok yang akan diwarisi budaya tidak memiliki ikatan kepemilikan terhadap sesuatu yang akan diwariskan, maka proses penurunan tidak akan berjalan mulus. Sejumlah seni tradisional yang pada dasarnya menunjukkan nilai-nilai kepiawaian bangsa Indonesia, telah punah tanpa sempat terdokumentasikan, apalagi terwariskan.
Wayang kulit purwa Buleleng yang selama ini lebih banyak --khususnya-- digunakan untuk kebutuhan melengkapi upacara manusa yadnya, bisa diperluas jangkauan fungsinya, bukan sebagai media tuntunan semata. Tuntunan yang terkandung dalam penceritaan wayang, akan lebih banyak tersampaikan bila kesempatan mempertunjuk-kan wayang itu lebih banyak dan lebih memasyarakat. Salah satu usaha untuk mendekatkan wayang kulit purwa Buleleng dengan masyarakat masa kini, terutama untuk menjangkau masyarakat penonton muda adalah melalui pembaruan tampilan wayang.
Sejak abad ke-9 (tercatat dalam prasasti tembaga dan Ugraçena) pertunjukan wayang telah ada di Nusantara. Bentuk dan jenis wayang yang dipertunjukkan tidak disebutkan di dalam prasasti tersebut. Pada awalnya, menurut perkiraan para dalang, wayang kulit pertama terbuat dari kulit kayu (Jajang S., 1995: 48-49). Unsur agama Hindu (cerita Bhima Kumara: Mahabharata) di samping unsur cerita pemujaan terhadap arwah para leluhur, dipakai secara berdampingan sebagai unsur cerita wayang. Selanjutnya muncul wayang lontar yang disebut sebagai wayang purwa pertama. Sekitar tahun 1200-an tercatat adanya wayang kertas yang selanjutnya disebut wayang bèbèr (Tabrani, 1991: 6). Baru pada abad  ke-13 tercatat adanya wayang yang terbuat dari bahan kulit binatang yang disebut wayang prampogan, rombongan. Tercatat pula wayang yang dibuat dari bahan kayu pipih (wayang klithik), kayu bulat torak (wayang golek), dan seng.
Salah satu bentuk wayang peninggalan masa lalau yang kini masih bertahan hidup di lingkungan masyarakat pendukungnya adalah wayang kulit purwa Buleleng. Wayang kulit ini dikelompokkan sebagai wayang purwa karena ceritanya menyangkut lakon Mahabharata dan Ramayana. Wayang kulit purwa ini bisa bertahan hidup karena merupakan bagian dari upacara keagamaan. Setiap upacara manusa yadnya (ruatan, kelahiran, dan wetonan), pitra yadnya (nyekah), dan juga dewa yadnya pertunjukan wayang merupakan salah satu bagian pelengkapnya. Jenis wayang yang digunakan adalah wayang gedog atau wayang lemah yang dipertunjukkan pada siang hari. Tetapi, di samping itu, pada saat-saat seperti kaulan, misalnya, wayang ini pun kerap dipertunjukkan.
Pertunjukan wayang untuk keperluan pelengkap upacara keagamaan cenderung sebagai pertunjukan yang fragmentaris, berupa potongan-potongan cerita yang disesuaikan dengan jenis upacara dan pesanan pengundang. Waktu pertunjukan yang sangat pendek, penyampaian cerita yang terbatas, dan penonton juga yang terbatas, menyebabkan penyampaian tuntunan yang merupakan fungsi awal wayang, kurang terolah. Apalagi jika mempertimbangkan wayang sebagai tontonan. Memang ada pertunjukan wayang yang lebih banyak ditujukan untuk keperluan tontonan, hiburan, yaitu pertunjukan wayang malam hari pada rangkaian upacara ngaben misalnya, tetapi faktor bahasa tetap menjadi kendala bagi penonton.
Seperti disebutkan di atas, salah satu kendala yang menyebabkan kurang akrabnya generasi muda dengan pertunjukan wayang kulit purwa Buleleng adalah masalah penggunaan bahasa yang kurang dekat dengan mereka. Soal bahasa, sebagai alat penyampai tuntunan, memegang peranan penting dalam proses ketersampaian pesan. Di samping itu, unsur pertunjukan baik ujaran (audio) maupun tampilan (visual) --pada adasarnya merupakan bagian paling penting dalam kesenian wayang-- adalah daya penarik utama yang bisa mengoptimalkan wayang sebagai media penyampai tuntunan.
Perubahan bahan pembuatan wayang telah berulang kali dilakukan. Dari sekitar 40 jenis wayang yang pernah tercatat hidup dalam kesenian Indonesia, wayang-wayang tersebut (di luar wayang orang dan wayang langendria) umumnya terbuat dari bahan kulit binatang, kertas, dan kayu (pipih maupun bulat torak). Perubahan tersebut berjalan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Hasil karya ini adalah manifestasi dari pergeseran nilai akibat perubahan nilai fungsi wayang (Yudoseputro, 1993: 42). Keselarasan antara fungsi wayang dengan kebutuhan masyarakat dan lingkungan zamannya harus merupakan pertimbanggan yang penting.
Ketika “pertunjukan” wayang hanya hanya bisa ditampilkan melalui relief batu pada bangunan candi, wayang batu telah menjadi alat tuntunan yang cukup pada masanya. Tetapi, ketika para pewarta tuntutan itu (“dalang”) perlu memperlebar jangkauan tempat menunjukkan kandungan cerita wayang, wayang batu tidak lagi dainggap sarana yang praktis. Maka, muncullah wayang bébér yang dibuat di atas sejenis bahan pipih dan rata: kulit kayu, kertas, atau pun kain. Wayang yang lebih menyerupai gambar cerita ini bisa digunakan untuk menyampaikan isi cerita oleh dalang tanpa batas ruang dan tempat.
Seorang dalang wayang bébér bisa membawa perangkat wayang ke mana saja ketika dia akan bercerita, menyampaikan tuntunan. Munculnya wayang kulit, jenis wayang yang paling banyak didapatkan di Jawa (terutama), Sumatera, Kalimantan, Bali, dan Lombok, sejalan dengan kepentingan pengembangan sarana tuntunan tersebut.
Ketika para pengguna wayang masa lalu menyadari “keterbatasan” wayang kulit sebagai sarana tuntunan dan tontonan, para pemikir bidang wayang pada masa lalu merasa perlu menciptakan bentuk wayang lain yang lebih cocok untuk kepentingan pengembangan tuntunan kepada masyarakat. Wayang kulit, pada awalnya, ditampilkan mengandalkan cahaya bulan purnama. Perubahan muncul ketika sumber pencahayaan diganti dengan blencong, lampu cempor, atau lampu minyak.
Pembuatan wayang baru yang menuntut cara mempertunjukkan yang agak lain dari biasanya perlu dilakukan. Wayang mika yang akan mampu menampilkan efek berwarna jika ditampilkan seperti dalam pertunjukan wayang kulit, merupakan salah satu jawaban untuk memenuhi hasrat masyarakat penonton masa kini yang telah terbiasa menonton pertunjukan yang penuh warna. Penggunaan pencahayaan yang nekawarna, disesuaikan dengan tampilan watak tokoh dan suasana cerita, akan lebih menghidupkan isi cerita. Nilai tuntunan bukan terletak pada wujud atau bentuk medianya, tetapi pada keefektifan media tersebut dalam memberi rangsang persitindakan dengan orang yang akan menerima penyampaian tuntunan.
Pengenalan bahan mika, bahan pewarna mika, dan efek khusus bayangan wayang, bisa menambah wawasan dan memperkaya pengalaman bagi para juru wayang dan para dalang. Pengayaan bahan pembuatan wayang menghasilkan jenis wayang baru, wayang mika. Hal itu merupakan sumbangan yang berarti bagi peragaman dan pengembangan kekayaan khazanah perwayangan milik bangsa Indonesia. Wayang mika atau wayang yang dibuat dari bahan plastik mika,  bukan merupakan gagasan baru. Perubahan bahan pembuatan wayang, seperti diuraikan di atas, sudah sejak lama dilakukan. Perubahan bahan itu tentu saja disesuaikan dengan tuntutan zaman. Mika yang papar seperti kulit samakan, bisa ditatah menjadi wayang, diwarnai dengan teknik pewarnaan yang jernih (transparan, tembus pandang). Warna mika maupun warna watak tokoh wayang yang digambarkan secara simbolis pada bagian tubuh wayang, bisa menampilkan bayangan yang nekawarna pada kelir; bukan tampilan yang ekawarna seperti pada pertunjukan wayang kulit yang lazim.
Pengembangan wayang bukanlah hal yang tabu. Masyarakat Bali pada umumnya memiliki daya dukung sistem sosial yang disebut jengah (Mantra, 1992: 13). Kata jengah, dalam hubungannya dengan seni Bali, mengandung makna tautan (konotatif) competitive pride atau semangat untuk bersaing. Sifat jengah didukung taksu atau inner power, yaitu kreativitas budaya. Penciptaan wayang baru (wayang mika) dan penggagasan gaya pertunjukan wayang kulit yang penuh warna, bermanfaat untuk membangkitkan kembali kekuatan jengah dan taksu yang merupakan ciri khas masyarakat Buleleng.

Perbedaan seni murni dan seni terapan


Secara teoritis seni dapat dibagi menjadi dua, yaitu :
  • Seni yang murni estetik. seperti halnya lukisan, karena didalam penciptaannya si seniman hanya diikat oleh persyaratan yang ada dalam seni lukis tersebut, dan tidak harus mengingat dimana lukisan itu di pasang, betapa harga nominalnya, atau gaya yang bagaimana yang disukai oleh si pembeli. Si seniman hanya mengekspresikannya di atas kanvas(Totalitas).
  • Seni terapan atau seni yang di pakai. seperti halnya kursi, akan di bentuk berbagai persyaratan yang berhubungan dengan pemakaiannya. kursi itu dipergunakan di ruang  makan atau untuk untuk di pergunakan di kamar tamu bagaimana bentuk agar cocok dengan sikap duduk dan penggunaanya.
Cabang – Cabang Seni Rupa
o  Seni Lukis
o  Seni Keramik
o  Seni Patung
o  Seni reklame
o  Seni Tekstil
o  Seni Ukir
o  Seni Ilustrasi
o  Seni Kaligrafi
o  Seni Fotografi

Pembagian cabang-  cabang Seni secara teoritis yaitu:
1.    Yang termasuk Seni Murni/Terpan adalah:
·         Seni lukis berbentuk dua dimensi dan dibuat di atas permukaan kertas, kanvas, dinding, kaca dan bahan lain yang memungkinkan untuk itu, menggunakan cat, tinta, arang, pensil dan lain-lain
·         Seni Patung merupakan karya seni rupa yang berbentuk tiga dimensi (dapat dinikmati dari beberapa arah pandang) dibuat dengan menggunakan berbagai media seperti, kayu, batu, semen, fiber, lilin, tanah liat atau bahkan es. Teknik membuat patung menyesuaikan dengan bahan yang dipakai, dengan cara membentuk dengan tangan, membutsir, memahat, ataupun dengan teknik cetak
·         Seni ukir yang merupakan seni membentuk gambar padakayu, batu, atau bahan-bahan lain  juga merupakan gambar hiasan dengan bagian-bagian cekung danbagian-bagian cembung yang menyusun suatu gambar yang indah.
·         Seni kaligrafi merupakan salah satu jenis karya seni rupa yang menekankan keindahan yang terdapat pada bentuk-bentuk huruf yang telah dimodifikasi atau digayakan sehingga mempunyai nilai estetika.

2.    Yang termasuk Seni Fungsional adalah:
·         Seni Keramik adalah cabang seni rupa yang mengolah material keramik untuk membuat karya seni dari yang bersifat tradisional sampai kontemporer. Selain itu dibedakan pula kegiatan kriya keramik berdasarkan prinsip fungsionalitas dan produksinya.
·         Seni Reklame adalah media periklanan besar, yang biasa ditempatkan pada area yang sering dilalui, misalnya pada sisi persimpangan jalan raya yang padat. Reklame berasal dari kata re-clamare (bahasa Latin: Re=berulang, clamare=seruan).
·         Seni tekstil dalam bentuk karya seni di antaranya berupa kain batik, sarung tenun, dan aneka sulaman. Karya seni teks til tersebut diaplikasikan pada benda-benda pakai, misalnya pakaian, taplak meja, sarung bantal, dan tas.
·         Seni fotografi berarti proses atau metode untuk menghasilkan gambar atau foto dari suatu obyek dengan merekam pantulan cahaya yang mengenai obyek tersebut pada media yang peka cahaya. Alat paling populer untuk menangkap cahaya ini adalah kamera.
·         Seni Ilustrasi itu adalah suatu penggambaran yg berfungsi sebagai penghias serta membantu menjelaskan suatu teks agar lebih mudah dipahami

Air brush sederhana


Cetak Tinggi
Cetak tinggi adalah ragam karya seni grafis yang proses pembikinannya melalui proses pembatan cetakan dari bahan yang di cukil atau di cuil sehingga perukaan menjadi tinggi dan rendah ( relief). bagian yang tinggi ini dilumuri tinta cetak dengan alat rol karet. Kemudian , dicetakan pada lembaran kertas sehingga membentuk gambar sesuai dengan cetakanya. Teknik cetak tinggi menggunakan bahan hardboard,karet,kayu,alumunium, atau kertas karton,kertas tela, cat minyak dan tinta. Sedangkan alat yang digunakan yakni pisau dan rol. Contoh dari cetak tinggi yaitu dapat kita temukan pada pembuatan cap atau stempel.
Menurut wikipedia seni identik dengan ekspresi dari kreatifitas manusia atau bisa diartikan bahawa kita berkarya dengan keahlian yang kita miliki. Indonesia kaya dengan berbagai keahlian seni, salah satunya adalah seni cetak tinggi.
Seni Cetak Tinggi ( Embos ) adalah  salah satu proses kegiatan mencetak seni grafis yang memanfaatkan bentuk yang paling tinggi yang berasal dari plat klise untuk menghasilkan bentuk karya berupa gambar. Acuan cetak tinggi itu serupa dengan panel ukiran atau panel relief. Oleh sebab itu, cetak tinggi disebut juga cetak relief. Acuan cetak tinggi dibuat dari bahan-bahan keras dan lunak.
Dalam pelajaran Seni Budaya dan Keterampilan terdapat pelajaran untuk membuat ukiran dari perak tipis dengan berbagai ukiran kaligrafi dan gambar hewan. Cara pembuatannya mudah cukup dengan menggunakan pena bekas,  Tekan gambar/jiplak gambar yang sudah disediakan dengan pena, dengan di alasi gabus. Jika sudah kelihatan bekasnya, ulangi tekan dari bawah plat dengan benda tumpul (dapat menggunakan ujung pena), untuk memperindah ditambah list dan bintik-bintik, agar tidak rusak usahakan pena sudah tidak ada tintanya lagi, dan pelan-pelan. Agar lebih indah dapat dicat atau di tambahkan bingkai.
Sesuai dengan motto kami untuk menjadikan praktek seni budaya dan keterampilan menjadi mudah, praktis dan langsung bisa diterapkan semua orang, maka kami menyediakan paket untuk memudahkan praktek membuat seni cetak tinggi yang terdiri dari sketsa gambar, perak tipis (plat), dan gabus sebagai alas.

B) Cetak Tinggi
a) Pengertian. Cetak tinggi adalah karya seni grafis yang proses pembuatannya melalui pembuatan bahan yang dicukil bagian luar desain atau motifnya sehingga permukaan menjadi tinggi dan rendah seperti relief. Bagian yang tinggi dilumuri cat atau tinta cetak dengan alat rol karet atau yang lainnya. Kemudian dicetakkan pada lembaran kertas sehingga menghasilkan ga,nar sesuai dengan alat cetakannya. Teknik cetak tinggi menggunakan bahan hardboard, karet, kayu, aluminium, atau kertas karton, kertas tela, cat minyak dan tinta, sedangkan alat yang digunakan adalah pisau pahat dan rol. Contoh yang mudah dan sering kita lihat adalah pada pembuatan cap atau stempel.
b) praktik pembuatan karya cetak tinggi.  Praktik pembuatan dengan teknik ini dapat kita awali dengan menyuapkan bahan dan peralatan yang digunakan yakni kayu atau papan, kertas polos, tripleks, karet dan hardboard. Peralatan lainnya adalah pahat, pencukil kayu, pensil, gunting, pisau cutter dan gergaji. Langkah kedua adalah membuat sket di atas plat/ klise, kemudian cungkil dengan pahat grafis (pahat yang ujungnya berbentuk huruf “V”), atau dapat menggunakan cutter dan yang bagian perlu rata cukup dengna tatah lururs, atau dengan alat yang lainnya. Setelah seleksi pencukilan, lumuri cat dengan menggunakan rol atau alat lain yang penting rata, lalu dicapkan pada permukaan kertas polos. Gambar yang tadi ditorehkan akan pindah pada permukaan kertas. Praktik cetak tinggi yang sederhana lebih sederhana dapat dilakukan dengan menggunakan bahan stip pensil, kita bentuk huruf atau gambar bagian yang tinggi kita lumuri dengan cat poster atau cat lain seadanya, kemudian kita templekan pada kertas gambar dengan selang seling sehingga membentuk motif yang vareatif sesuai kehendak sendiri. Atau dipraktikan sesuai dengna kondisi setempat dengan mengambil barang atau bahan yang ada di lingkungan kita, seperti pelepah pisang, daun jati, atau bahan lain yang mempunyai permukaan tidak rata.

Menggambar Dengan Teknik Melipat Kertas



Menggambar Dengan Teknik Melipat Kertas
Pada tugas kuliah seni rupa kali ini diajarkan teknik melukis dengan teknik melipat kertas. teknik melukis dengan melipat kertas ini merupakan salah satu cara melukis yang dapat diberikan kepada anak SD agar anak mampu mengekspresikan pengalaman berkrya seni sehingga memberikan pengalaman estetik anak.
1. Tujuan dari kegiatan ini adalah
a.     Dapat melatih motorik halus pada anak yang melibatkan gerak otot-otot kecil dan kematangan syaraf.
b.    Mengenal konsep warna primer (merah, kuning, biru). Dari warna-warna yang terang kita dapat mengetahui kondisi emosi anak, kegembiraan dan kondisi-kondisi emosi mereka.
c.     Mengenalkan konsep pencampuran warna primer, sehingga menjadi warna yang sekunder dan tersier.
d.    Mengenalkan estetika keindahan warna.
e.     Melatih imajinasi dan kreatifitas anak.

Ada beberapa cara melukis yang dapat diberikan untuk siswa SD, dengan melukis ekspresif ini siswa diharapkan mampu untuk mengekspresikan pengalamannya berkarya seni,memberikan pengalaman estetik anak.

2. Bahan-bahan menggambar dengan teknik melipat kertas:
a)      Siapkan alat dan bahan
·         Cat air/ pewarna kue
·         Palet/ tempat cat
·         Air
·         Penggaris
·         Pensil
·         Buku gambar
b)      Cairkan pewarna dengan sedikit air pada tempat untuk mencampur warna. Jika pewarna tidak terlalu kental, tidak perlu dicampur dengan air. Jika menggunakan pewarna kue yang terbuat dari serbuk atau berupa tepung, berilah sedikit air untuk mencairkannya. Hati-hati jangan terlalu encer.
c)      Teteskan pewarna yang sudah disiapkan pada beberapa bagian di atas kertas. Dapat dipilih beberapa warna untuk hasil yang lebih baik.
d)     Lipat kertas pada bagian tengah sisi panjangnya.
e)      Gosoklah dengan hati-hati kertas yang sudah dilipat dan ditetesi warna dengan menggunakan telapak tangan hingga rata, jangan sampai ada warna yang masih mengumpul atau menggumpal.
f)       Bukalah lipatan kertasnya, maka akan menghasilkan gambar yang dapat kalian beri judul sendiri.

3. Melukis dengan melipat kertas, yaitu melukis hanya dengan melipat kertas yang ditambah warna sehingga membentuk sesuatu. Langkah-langkah pembuatannya yaitu:
a.     sediakan kertas gambar, pewarna cat air, dan penggaris.
b.    lipat kertas menjadi dua sehingga simetris
c.     tambahkan cat air bermacam-macam warna pada salah satu sisi kertas sedikit-sedikit
d.    tutup kertas dengan sisi kertas satunya dengan tepat
e.     gunakan tangan atau penggaris untuk menarik warna-warna yang ada pada kertas. Menariknya dapat kearah atas, bawah, dan samping. Dapat juga dengan memutar.
f.     buka perlahan kertas kembali, dan lihat hasilnya
g.    karya dapat dipajang di kelas.

montase


MONTASE
Bila Anda mengamati secara sepintas mengenai Montase, Kolase dan Mozaik seolah-olah masih dalam satu teknik dasar yang sama dan kadang-kadang sulit dibedakan terutama antara kolase dengan montase. Karena kedua-duanya mengambil material dari benda-benda sebagai unsur karya. Tetapi sebenarnya kalau kita cermati unsur-unsurnya walaupun dari material yang sama berbentuk benda tetapi sebenarnya beda.

Pengertian Montase, menurut kamus besar Bahasa Indonesia, adalah: Komposisi gambar yang dihasilkan dari percampuran unsur dari beberapa sumber (Depdiknas 2001, 754).
Pada perkembangannya montase yang semula terbatas pada karya dua dimensi sekarang telah merambah kepada karya tiga dimensi. Karya montase ini juga kurang dikenal oleh kalangan umum, karena bentuk karyanya masih mempunyai kemiripan dengan seni lukis, seni kriya, seni patung. Sehingga jenis karya ini dianggap sebagai salah satu dari jenis karya tersebut.

mozaik


MOZAIK
Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, mozaik adalah seni dekorasi bidang dengan kepingan bahan keras berwarna yang disusun dan ditempelkan dengan perekat (Depdiknas 2001,756). Dari definisi mozaik tersebut dapat diuraikan pengertiannya, yaitu pembuatan karya seni rupa dua atau tiga dimensi yang menggunakan material dipotong-potong atau sudah berbentuk potongan kemudian disusun dengan ditempelkan pada bidang datar dengan cara di lem. Kepingan benda-benda itu, antara lain; kepingan pecahan keramik, potongan kaca, potongan kertas, potongan daun, potongan kayu. Tetapi untuk sebuah tema gambar menggunakan satu jenis material, misalnya kalau menggunakan kaca maka dalam satu tema gambar tersebut menggunakan pecahan kaca semua, hanya berbeda-beda warnanya baik warna alam maupun warna buatan.

Seni Batik Sederhana



Seni Batik Sederhana
Seni batik adalah sebuah seni gambar di atas kain yang menjadi salah satu kebudayaan keluarga raja-raja dan masyarakat zaman dahulu. Antara batik kerajaan dan batik rakyat hal yang membedakannya adalah dari segi motifnya. Bukan sekedar keindahan yang berupa perpaduan dan komposisi ragam hias serta permainan warna yang mempunyai satu ciri khas tersendiri, tetapi juga mewakili sebuah identitas diri dan semangat yang terpancar dari pesona kesenian batik tersebut. Lekukan garis yang unik, dipadukan dengan arsiran-arsiran lembut terus berkembang dalam motifnya seolah-olah beradaptasi dan mengikuti satu demi satu perkembangan zaman. Seperti tergambar dalam kain-kain selendang dan kebaya yang bergambarkan bunga-bunga, bahkan satu cerita bisa digambarkan dalam kain-kain tenunan tersebut.   Ketika penjajah Belanda datang ke Indonesia, mereka tidak serta merta menyingkirkan kesenian batik yang merupakan identitas bangsa, justru kesenian tersebut dikembangkan oleh mereka, baik dalam bentuk pengembangan corak, warna, motif ataupun modelnya. Bahkan lebih jauh mereka telah menjadikan batik sebagai bagian dari produksi mereka. Banyak hal yang baik yang bisa kita lihat dari kesenian batik. Ciri khasnya telah menjadikan batik sebagai salah satu khasanah budaya bangsa yang tak surut termakan zaman. Zaman feodalisme, zaman kolonialisme, zaman kemerdekaan, sampai zaman kapitalisme sekarang ini, batik masih menjadi satu pakaian yang mengidentitaskan dan karakter bangsa Indonesia di mata internasional. Perkembangan dan transformasi budaya, tenyata tak mampu menyingkirkan batik dari identitas bangsa. Ciri khas tersebut tidak sekedar sebagai artian dari identitas semata. Secara filosofis juga mempunyai esensi perlawanan terhadap westernisasi yang semakin pesat melanda Indonesia khususnya westernisasi dalam hal busana. Pengaruh budaya Barat khususnya dalam hal mode atau fasion, mendapatkan satu resistensi dari eksistensi batik sebagai simbol fasion Indonesia. Membatik yang awalnya hanya menjadi pekerjaan dari kaum perempuan sebagai salah satu sumber mata pencaharian. Namun seiring dengan perkembanganya, terutama ketika telah ditemukannya “Batik Cap” maka pekerjaan ini telah menjadi satu hal yang lazim bagi kaum laki-laki. Walaupun fenomena umum ini tidak terjadi di daerah pesisir yang telah lazim bagi kaum laki-laki untuk membatik. Berdasarkan teori kebudayaan, para ahli berpendapat bahwa batik merupakan salah satu jenis kebudayaan asli Indonesia.
Dengan demikian kata batik sama artinya dengan kata menulis. Sedangkan batik menurut pengertian umum adalah gambar di atas kain dengan menggunakan alat-alat seperti canting, canting cap, kuas, serta melalui proses pemalaman atau pelilinan, pewarnaan dan pembabaran(menghilangkan malam). Selain itu, pengertian batik adalah lukisan atau gambar pada kain mori dengan menggunakan lilin atau malam yang diproses menurut budaya batik yaitu dengan keterampilan, ragam hias atau motif, tata warna serta pola yang khas.
Kemudian menurut H. Santosa Doellah yang dikutip dari buku yang disusunnya batik adalah sehelai wastra yakni sehelai kain yang dibuat secara tradisional dan terutama juga digunakan dalam matra tradisional beragam hias pola batik tertentu yang dicelup rintang dengan malam ’lilin batik’ sebagai bahan perintang warna. Dengan demikian, suatu wastra dapat disebut batik bila mengandung dua unsur pokok teknik celup rintang yang menggunakan lilin sebagai perintang warna dan pola yang beragam hias khas batik.
Pada awal abad ke-19, Batavia dengan penduduk golongan menengah yang terus bertambah jumlahnya menjadi pasar yang semakin terbuka untuk produk tekstil. Begitu pula halnya dengan Semarang dan Surabaya. Di samping orang Eropa yang kelompoknya relatif  kecil terdapat kelompok-kelompok lain yang lebih besar, terdiri atas para pedagang dan tukang berbangsa Cina, saudagar-saudagar Arab, India serta Melayu.