Oleh Jajang Suryana
Pengayaan
bahan pembuatan wayang ini menuntut cara mempertunjukkan yang lain. Yaitu, cara dan pertunjukan wayang berkelir
(wayang kulit) yang berwarna. Tampilan berwarna bayangan wayang mika pada
kelir akan didukung oleh efek
pencahayaan yang juga nekawarna. Pembaruan pertunjukan wayang (kulit), wayang yang ditampilkan dengan
menggunakan kelir, menjadi pertunjukan wayang yang penuh warna, merupakan upaya
menarik minat para penonton muda yang pewaris budaya wayang, yang sudah
terbiasa menonton berbagai acara televisi yang nekawarna.
Perubahan
pertunjukan dan pengayaan jenis
wayang, tidak mengubah pakem. Pakem
wayang di antaranya mengikat jejer carita
(jalan cerita utama), raut tampang, watak, dan penokohan. Sabetan dan pertunjukan, seperti pertunjukan melalui
radio, rekaman kaset, maupun pada acara teve, sudah lama diterima oleh
masyarakat pendukung wayang tanpa protes. Begitu pun lahirnya jenis wayang baru
yang telah begitu lama kita ketahui, tidak menjadi permasalahan dalam
pembicaraan tentang pakem. Wayang mika, gaya pertunjukan wayang berkelir yang
berwarna, pada dasarnya mengacu kepada keadaan tersebut.
Tulisan
ini dimaksudkan untuk menggagas upaya pelestarian salah satu hasil budaya milik
bangsa Indonesia yang berharga, yang telah diakui sebagai salah satu benda
budaya milik dunia. Pelestarian bisa berarti pelanjutan secara utuh atau hanya
sekadar pengembangan. Pengayaan bahan pembuatan wayang kulit, pengembangan gaya
pertunjukan wayang kulit berwarna, termasuk ke dalam bentuk usaha pelestarian
tadi. Yang mengilhami gagasan ini adalah keberadaan wayang kulit purwa
Buleleng.
Wayang
kulit purwa Buleleng hingga saat ini kurang begitu akrab dengan masyarakat
pendukungnya, terutama dengan kaum muda. Dari hasil wawancara awal, banyak kaum
muda yang menyatakan kurang menyukai pertunjukan wayang kulit ini. Kendala
pertama yang diakui oleh sejumlah kaum muda Buleleng, adalah unsur bahasa yang
digunakan dalang dalam mempertunjukkan wayang. Bahasa pengantar pertunjukan
wayang adalah bahasa yang tidak dimengerti oleh kaum muda, yaitu bahasa Jawa
Kuna. Kendala kedua menyangkut segi pertunjukan wayang yang kurang sesuai
dengan dunia kaum muda.
Pewarisan
budaya adalah pengalihan tanggung jawab dari generasi tua kepada
generasi muda. Seandainya kaum muda sebagai kelompok yang akan diwarisi
budaya tidak memiliki ikatan kepemilikan terhadap sesuatu yang akan diwariskan,
maka proses penurunan tidak akan berjalan mulus. Sejumlah seni tradisional yang
pada dasarnya menunjukkan nilai-nilai kepiawaian bangsa Indonesia, telah punah
tanpa sempat terdokumentasikan, apalagi terwariskan.
Wayang
kulit purwa Buleleng yang selama ini lebih banyak --khususnya-- digunakan untuk
kebutuhan melengkapi upacara manusa
yadnya, bisa diperluas jangkauan fungsinya, bukan sebagai media tuntunan semata. Tuntunan yang
terkandung dalam penceritaan wayang, akan lebih banyak tersampaikan bila kesempatan
mempertunjuk-kan wayang itu lebih banyak dan lebih memasyarakat. Salah satu
usaha untuk mendekatkan wayang kulit purwa Buleleng dengan masyarakat masa
kini, terutama untuk menjangkau masyarakat penonton muda adalah melalui
pembaruan tampilan wayang.
Sejak
abad ke-9 (tercatat dalam prasasti tembaga dan Ugraçena) pertunjukan wayang
telah ada di Nusantara. Bentuk dan jenis wayang yang dipertunjukkan tidak
disebutkan di dalam prasasti tersebut. Pada awalnya, menurut perkiraan para
dalang, wayang kulit pertama
terbuat dari kulit kayu (Jajang S., 1995: 48-49). Unsur agama Hindu (cerita Bhima Kumara: Mahabharata) di samping
unsur cerita pemujaan terhadap arwah para leluhur, dipakai secara berdampingan
sebagai unsur cerita wayang. Selanjutnya muncul wayang lontar yang disebut
sebagai wayang purwa pertama. Sekitar tahun 1200-an tercatat adanya wayang
kertas yang selanjutnya disebut wayang
bèbèr (Tabrani, 1991: 6). Baru pada abad
ke-13 tercatat adanya wayang yang terbuat dari bahan kulit binatang yang
disebut wayang prampogan, rombongan.
Tercatat pula wayang yang dibuat dari bahan kayu pipih (wayang klithik), kayu bulat torak (wayang golek), dan seng.
Salah
satu bentuk wayang peninggalan masa lalau yang kini masih bertahan hidup di
lingkungan masyarakat pendukungnya adalah wayang
kulit purwa Buleleng. Wayang kulit ini dikelompokkan sebagai wayang purwa
karena ceritanya menyangkut lakon Mahabharata
dan Ramayana. Wayang kulit purwa ini
bisa bertahan hidup karena merupakan bagian dari upacara keagamaan. Setiap
upacara manusa yadnya (ruatan,
kelahiran, dan wetonan), pitra yadnya (nyekah), dan juga dewa yadnya
pertunjukan wayang merupakan salah satu bagian pelengkapnya. Jenis wayang yang
digunakan adalah wayang gedog atau wayang lemah yang dipertunjukkan pada
siang hari. Tetapi, di samping itu, pada saat-saat seperti kaulan, misalnya, wayang ini pun kerap dipertunjukkan.
Pertunjukan
wayang untuk keperluan pelengkap upacara keagamaan cenderung sebagai
pertunjukan yang fragmentaris, berupa potongan-potongan cerita yang disesuaikan
dengan jenis upacara dan pesanan pengundang. Waktu pertunjukan yang sangat
pendek, penyampaian cerita yang terbatas, dan penonton juga yang terbatas,
menyebabkan penyampaian tuntunan
yang merupakan fungsi awal wayang, kurang terolah. Apalagi jika
mempertimbangkan wayang sebagai tontonan.
Memang ada pertunjukan wayang yang lebih banyak ditujukan untuk keperluan
tontonan, hiburan, yaitu pertunjukan wayang malam hari pada rangkaian upacara ngaben misalnya, tetapi faktor bahasa
tetap menjadi kendala bagi penonton.
Seperti
disebutkan di atas, salah satu kendala yang menyebabkan kurang akrabnya
generasi muda dengan pertunjukan wayang kulit purwa Buleleng adalah masalah
penggunaan bahasa yang kurang dekat dengan mereka. Soal bahasa, sebagai alat
penyampai tuntunan, memegang peranan penting dalam proses ketersampaian pesan.
Di samping itu, unsur pertunjukan baik ujaran (audio) maupun tampilan (visual)
--pada adasarnya merupakan bagian paling penting dalam kesenian wayang-- adalah
daya penarik utama yang bisa mengoptimalkan wayang sebagai media penyampai
tuntunan.
Perubahan
bahan pembuatan wayang telah berulang kali dilakukan. Dari sekitar 40 jenis wayang
yang pernah tercatat hidup dalam kesenian Indonesia, wayang-wayang tersebut (di
luar wayang orang dan wayang langendria) umumnya terbuat dari bahan kulit
binatang, kertas, dan kayu (pipih maupun bulat torak). Perubahan tersebut
berjalan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Hasil karya ini adalah manifestasi
dari pergeseran nilai akibat perubahan nilai fungsi wayang (Yudoseputro, 1993:
42). Keselarasan antara fungsi wayang dengan kebutuhan masyarakat dan
lingkungan zamannya harus merupakan pertimbanggan yang penting.
Ketika
“pertunjukan” wayang hanya hanya bisa ditampilkan melalui relief batu pada
bangunan candi, wayang batu telah menjadi alat tuntunan yang cukup pada
masanya. Tetapi, ketika para pewarta tuntutan itu (“dalang”) perlu memperlebar
jangkauan tempat menunjukkan kandungan cerita wayang, wayang batu tidak lagi
dainggap sarana yang praktis. Maka, muncullah wayang bébér yang dibuat di atas
sejenis bahan pipih dan rata: kulit kayu, kertas, atau pun kain. Wayang yang
lebih menyerupai gambar cerita ini bisa digunakan untuk menyampaikan isi cerita
oleh dalang tanpa batas ruang dan tempat.
Seorang
dalang wayang bébér bisa membawa perangkat wayang ke mana saja ketika dia akan
bercerita, menyampaikan tuntunan. Munculnya wayang kulit, jenis wayang yang paling
banyak didapatkan di Jawa (terutama), Sumatera, Kalimantan, Bali, dan Lombok,
sejalan dengan kepentingan pengembangan sarana tuntunan tersebut.
Ketika
para pengguna wayang masa lalu menyadari “keterbatasan” wayang kulit sebagai
sarana tuntunan dan tontonan, para pemikir bidang wayang pada masa lalu merasa
perlu menciptakan bentuk wayang lain yang lebih cocok untuk kepentingan
pengembangan tuntunan kepada masyarakat. Wayang kulit, pada awalnya,
ditampilkan mengandalkan cahaya bulan purnama. Perubahan muncul ketika sumber
pencahayaan diganti dengan blencong,
lampu cempor, atau lampu minyak.
Pembuatan
wayang baru yang menuntut cara mempertunjukkan yang agak lain dari biasanya
perlu dilakukan. Wayang mika yang akan mampu menampilkan efek berwarna jika
ditampilkan seperti dalam pertunjukan wayang kulit, merupakan salah satu
jawaban untuk memenuhi hasrat masyarakat penonton masa kini yang telah terbiasa
menonton pertunjukan yang penuh warna. Penggunaan pencahayaan yang nekawarna,
disesuaikan dengan tampilan watak tokoh dan suasana cerita, akan lebih
menghidupkan isi cerita. Nilai tuntunan bukan terletak pada wujud atau bentuk
medianya, tetapi pada keefektifan media tersebut dalam memberi rangsang
persitindakan dengan orang yang akan menerima penyampaian tuntunan.
Pengenalan
bahan mika, bahan pewarna mika, dan efek khusus bayangan wayang, bisa menambah
wawasan dan memperkaya pengalaman bagi para juru wayang dan para dalang.
Pengayaan bahan pembuatan wayang menghasilkan jenis wayang baru, wayang mika.
Hal itu merupakan sumbangan yang berarti bagi peragaman dan pengembangan
kekayaan khazanah perwayangan milik bangsa Indonesia. Wayang mika atau wayang yang
dibuat dari bahan plastik mika, bukan merupakan gagasan baru. Perubahan bahan
pembuatan wayang, seperti diuraikan di atas, sudah sejak lama dilakukan.
Perubahan bahan itu tentu saja disesuaikan dengan tuntutan zaman. Mika yang
papar seperti kulit samakan, bisa ditatah menjadi wayang, diwarnai dengan
teknik pewarnaan yang jernih (transparan, tembus pandang). Warna mika maupun
warna watak tokoh wayang yang digambarkan secara simbolis pada bagian tubuh
wayang, bisa menampilkan bayangan yang nekawarna pada kelir; bukan tampilan
yang ekawarna seperti pada pertunjukan wayang
kulit yang lazim.
Pengembangan
wayang bukanlah hal yang tabu. Masyarakat Bali pada umumnya memiliki daya
dukung sistem sosial yang disebut jengah
(Mantra, 1992: 13). Kata jengah, dalam hubungannya dengan seni Bali, mengandung
makna tautan (konotatif) competitive
pride atau semangat untuk bersaing. Sifat jengah didukung taksu atau inner power, yaitu kreativitas budaya. Penciptaan wayang baru
(wayang mika) dan penggagasan gaya pertunjukan wayang kulit yang penuh warna,
bermanfaat untuk membangkitkan kembali kekuatan jengah dan taksu yang merupakan
ciri khas masyarakat Buleleng.